Bengawan Solo…
Riwayatmu kini…
Sedari dulu jadi…
Perhatian insani…
Siapa yang tidak tahu lagu keroncong legendaris ciptaan alm. Gesang ini. Bahkan dunia pun mengakui betapa indahnya lagu Bengawan Solo hingga dicover dalam berbagai versi. Dulu, semasa kecil, saya sangat senang sekali kalau lewat sungai Bengawan Solo di samping taman Jurug dan Universitas Sebelas Maret a.k.a. UNS. Rasanya seru sekali melewati jembatan yang khas dengan besi-besi segi tiganya yang menjulang tinggi. Wow banget saat itu! Sampai sekarang pun kalau lewat sana, serasa ada kenangan tersendiri. Hehe
Okey, kali ini saya bukan mau bercerita tentang sungai Bengawan Solo, tetapi kisah perjalanan saya kemarin ke Museum Keraton Solo. Walaupun sering melewati atau berkunjung ke Solo, tapi ini kali pertama saya berkunjung ke Museum Keraton Solo. Antusias? Pasti! Seperti apa sih, Museum Keraton Solo yang hits dan instagramable ini. Hehe
Kesan pertama pada waktu masuk ke Museum Keraton Solo adalah atap-atap bangunannya yang menjulang tinggi. Saya sangat suka sekali dengan atap bangunan yang menjulang tinggi. Ya, karena rasanya ruangan menjadi lebih sejuk. Kesejukan ini tentunya karena banyaknya pohon di sekitar museum.
Budayakan Wisata Museum
Saya punya cita-cita, jika kelak saya memiliki anak, saya ingin sekali membuat jadwal wisata museum. Alasannya, agar anak-anak tidak lupa akan sejarahnya. Perjuangan para pahlawan bisa jadi menginspirasi anak-anak untuk tidak lelah berjuang di era yang serba mudah fasilitasnya sekaligus era yang melenakan jika anak-anak tak memiliki daya juang bukan?
Lebih Baik Gunakan Jasa Tour Guide
Tetapi, sayang, di Museum Keraton Solo ini, tidak semua benda pustaka yang dipajang diberikan deskripsi atau kisah di balik benda-benda pustaka tersebut. Jadi, kalau tidak pakai pemandu wisata, maka jadilah kita hanya akan menebak-nebak apa fungsinya. Sisi positifnya, kita akan lebih banyak googling atau mungkin ke perpustakaan untuk mencari tahu. Hehe
Saran saya, lebih baik gunakan jasa pemandu wisata agar perjalanan kita lebih bermakna. Saat itu, saya tidak tahu kalau ada tour guide, soalnya di loket juga tidak ada jasa yang menawarkan diri. Mungkin sedang bertugas semua karena saya ke sana pada saat tanggal merah. Jadi, cukup ramai.
Gunakan Sepatu dan Pakaian yang Sopan
Oya, jangan lupa, kalau ke sini pakai sepatu dan sebaiknya pakaian yang sopan. Karena kalau tidak, kita tidak bisa masuk keraton. Sayang kan, sudah jauh-jauh ke sini tetapi tidak bisa masuk.
Benda Pusaka Tidak Terawat
Sayang sekali benda-benda pusaka yang terdapat di museum berdebu dan menjadi sarang laba-laba meskipun sudah ditempatkan di lemari kaca. Seolah hanya dipasang seadanya saja. Bahkan penempatan kereta kencana yang rusak dan tidak terawat pun kurang memperhatikan estetikanya. Sangat disayangkan jika benda pusaka yang mungkin hanya satu-satunya ini rusak nantinya, maka kita tak ada lagi peninggalan sejarah yang bisa dipelajari dan dilihat secara langsung.
Gedung Tidak Terawat
Soal kebersihan, sebenarnya sudah tidak perlu diragukan lagi. Tetapi, soal perawatan gedung, terutama atapnya yang sudah roboh di beberapa bagian. Bukankah akan lebih mahal jika harus direnovasi ulang?
Kandang Kebo Bule
Selepas dari museum, kami menuju kandang kebo bule yang konon katanya dikeramatkan oleh Keraton Solo dan warga Solo. Saya dulu pertama kali dengar tentang kebo bule ini di siaran televisi tentang kirab benda pustaka di malam satu suro. Bahkan saking disakralkannya, banya warga yang berburu air pemandian kebo bule bahkan kotorannya sebagai penolak bala.
Kebo bule ini merupakan hadiah dari Kyai Hasan Bestari Tegalsari Ponorogo kepada Paku Buwono II karena berhasil merebut kembali Keraton Kartasura dari tangan pemberontak Pecinan. Seperti halnya benda pusaka keraton yang selalu diberi nama, begitu juga degan kebo bule yang diberikan nama Kyai Slamet. Asal muasal sebutan Kyai Slamet ini sebenarnya dikarenakan kebo bule merupakan cucuk lampah (pengawal) dari benda pusaka yang bernama Kyai Slamet yang juga diberikan oleh Bupati Ponorogo sebagai hadiah. Ternyata, kebo bule ini bukan jelmaan dari Kyai Slamet yang saya duga selama ini. Hehe
Namun sayang, meskipun dianggap benda pusaka, ternyata kandang kebo bule ini tidak se-istimewa yang saya bayangkan. Siapa pun bisa masuk ke pelataran kandang kebo bule ini. Dan, beberapa kandang juga tidak terlihat terawat. Sayang sekali bukan? Bagaimana kalau kebo bule ini diculik atau disakiti oleh orang yang tidak bertanggung jawab? Oke, mungkin saya berlebihan. Tetapi, intinya adalah pada pengemasan museum yang sebaiknya lebih terawat dan menarik. Meskipun dengan pengemasan yang sekarang sudah banyak pengunjung, tetapi bukankah akan lebih baik jika Pesona Indonesia ini dikemas lebih baik lagi agar pengunjung semakin bertambah dan menjadi pemasukan daerah yang cukup patut diperhitungkan?
Saya juga melihat ada beberapa turis mancanegara yang melakukan kunjungan ke Museum Keraton Solo ini. Bukankah hal ini berarti bahwa potensi wisata ke Museum Keraton Solo ini sangat bagus? Dan, sudah saatnya managemen berbenah untuk menjaga benda pusaka dan gedung menjadi lebih terawat.
Terlepas dari itu semua, suatu saat saya tetap ingin mengajak anak-anak atau keponakan ke sini. Dan, tidak lupa tentu akan menyewa pemandu wisata. Karena ada banyak hal yang ingin saya ketahui tentang Keraton Solo. Harapan besar saya, semoga kunjungan selanjutnya, pengelolaannya menjadi lebih baik. Aamiin…
Kalau menurut kalian bagaimana, Ecoist? Yuk, berbagi kisah perjalanan kalian di berbagai museum di Indonesia maupun mancanegara di sini. Kita belajar bersama, yuk!